Selasa, 29 Maret 2011

Asal usul Musik Calung Banyumas


Asal usul Musik Calung Banyumas

Musik bongkel yang selama ini disebut-sebut sebagai cikal-bakal angklung
dan calung Banyumas. Anggapan ini cukup beralasan, sebab bila dimati
secara cermat, antara keduanya sebagaian besar mengacu pada bongkel. Hal
ini terlihat jelas pada bentuk fisik instrumen, bahan baku, proses
pembuatan, system pelarasan, struktur komposisi,dan teknik permainan dari
beberapa instrumen.

Bongkel adalah salah satu bentuk musik rakyat yang terdapat di desa
Gerduren, Banyumas (Jawa Tengah). Musik ini didukung sebuah instrumen
perkusi (sejenis angklung bambu), berlaras slendro.
Dalam satu bingkai terdapat empat tabung nada berbeda. Cara memainkan
digoyang dan digatarkan menggunakan kedua tangan, serta diikuti tutupan
jari-jari tertentu untuk menentukan nada. Karakteristik permainan bongkel
terletak pada jalinan ritmis antara keempat tabung nada. Dalam
perkembangannya bentuk jalinan-jalinan ini mengilhami lahirnya lain yang
sejenis yaitu angklung, krumpyung dan calung.

Bongkel pada awalnya berfungsi sebagai musik hiburan petani ketika berada
di ladang, dan dalam perkembangannya kini bergeser menjadi musik jalanan
(ngamen) dan musik ronda (jaga malam). Secara musikal bongkel memiliki
teknik permainan tinggi, unik, khas, dan tidak ada duanya baik di
Banyumas, maupun di daerah Indonesia.

Berdasarkan analisis fisik, musikalitas, dan fungsi dapat diketahui bahwa
bongkel termasuk musik bambu tertua di Banyumas. Setelah melalui proses
perjalanan panjang genre musik ini diduga mendapat pengaruh gamelan
kemagan dan ringgeng yakni perangkat gamelam kecil yang biasa digunakan
untuk mengiringi lengger dan ebeg. Dari bongkel berkembang menjadi buncis,
dari buncis berkembang menjadi krumpyung, dan dari krumpyung menjadi
calung.

Masyarakat banyumas mengenal musik calung sampai dengan sekarang.
http://groups.yahoo.com/group/banyumas/message/55264

Kamis, 24 Maret 2011

Pengetahuan karawitan

Pengetahuan karawitan


Masa setelah notasi digunakan
Ø Sistem notasi muncul pada waktu Javaa Instituut yang beranggotakan intelektual Belanda maupun Jawa mengadakan perlombaan menulis naskah tentang musik Jawa. Menurut laporan Brandts Byus (1924) pengumuman lomba ini diterbitkan di Djawa (1921: 303-4).
Ø Bulan September 1923, juri menerima tujuh naskah dalam bahasa Jawa. Beberapa dari naskah ini menggunakan notasi Barat untuk menulis beberapa gendhing. Juri lomba terdiri dari orang Belanda dan Jawa yaitu: J.S. Brandts Buys, R.Ad. Ar. Danoesoegonda, J. Kats, J. Kunst, dan R.M. Ng. Soedjonopoera.
Ø Hadiah pertama, 300 gulden, diterima oleh M.Ng. Lebdapradongga (mantri  Kepatihan Surakarta); penulisan naskahnya]pimpinan musisi[niyaga dikerjakan bersama dengan M.P. Djatiswara (Letnan dua, pimpinan musik gesek ropa kraton Surakarta).
Ø Hadiah kedua sebanyak 175 gulden diberikan kepada dua penulis: R.T. Djajadipoera; tulisannya merupakan hasil kerjasamanya dengan Mevrouw Hofland (juga bernama samaran Linda Bandara), dan R. Ng. Soetosoekarja, mantri tjarik kaboepaten (kepala skretaris kabupaten), menulis naskah dengan bantuan M. Ng. Mlajadimedja, mantri niyaga kraton Surakarta.
Selain itu, empat penulis menerima sebutan penghormatan: R. Soelardi Hardjasoedjana dari Surakarta, R. Loerah Djajenggoetara dari Yogyakarta, R.M.Ad. Ar. Tjakrahadikoesoema, dan R. Tirtanata, dua-duanya dari Temanggung (bandingkan dengan situasi pemberian gelar kraton dewasa ini yang lebih berbau politik praktis dan ekonomis!).
Ø Buku awal yang memuat informasi tentang notasi adalah Buku Piwulang Nabuh Gamelan yang ditulis oleh Komisi Pasinaon Nabuh Gamelan ing Paheman Radyapustaka Surakarta. Diduga Djatiswara sebgai salah satu anggota komisi dianggap paling bertanggung jawab dalam penulisan buku itu. (Sumarsam, 2003:148-217).
Ø Titilaras adalah istilah yang digunakan di lingkungan karawitan untuk menyebut notasi yaitu lambang yang memawakili tinggi dan harga laras (nada). Sampai saat ini, titilaras yang masih paling banyak digunakan di lingkungan karawitan (di Surakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta sampai daerah sebaran budayanya) adalah titilaras Kepatihan yang di “ciptakan “ pada tahun ’20-an di Kepatihan Surakarta oleh Warsadiningrat. Notasi ini (juga notasi Sari Swara) mengadopsi notasi angka Cheve, yaitu menggunakan angka dari 1 sampai dengan 7. Tinggi (besaran) angka merepresentasikan tinggi nada, harga nada dipresentasikan oleh garis harga nada yang berwujud garis datar di atas angka. Setiap garis membagi dua dari harga sebuah nada. Makin banyak garisnya berarti makin pendek/sedikit harga nadanya. Wilayah gembyang ditandai dengan penempatan titik di atas atau di bawah nada. Titik di bawah menunjukkan bahwa laras tersebut berada pada wilayah gembyang bawah.
Ø Nut (Bld noot) tertua yang dikenal pengrawit Jawa adalah nut Rante. Marc Perlman memberi ciri notasi rante sebagai berikut.
1. Adanya garis paranada dengan enam garis horizontal;
2. Penggunaan garis-garis bawah untuk menandai nada-nada rendah, dan garis-garis di atas untuk nada-nada tinggi; dan
3. Adanya garis-garis yang menyambungkan biji-biji not (garis lengkung, lurus maupun terputus-putus), sehingga tulisan notasi seakan-akan menggambarkan sebuah rantai (maka dinamakan “notasi rantai”)… (Perlman, 1991: 37).

Titilaras ini mirip dengan notasi Balok, yaitu garis-garis sejajar horizontal dengan perbedaan tidak menggunakan bagian sela (hanya menggunakan garis-garis saja) sebagai tempat nada. Notasi Rante dipercaya dicipta oleh Demang Karini sekitar tahun 1870 (?) (Supanggah, . Sumarsam menyebut Demang Karini adalah anggota staff]sic![2002:114)  musik Barat Mangkunegaran pada masa pemerintahan MN IV (1853-1881) (Sumarsam, 2003: 156).
Asumsinya Demang Karini fasih musik Barat maka pengaruhnya kepada teknik atau model penulisan notasi rante juga besar. Oleh Karini notasi ini dikenalkan kepad saudara sepupunya yang bekerja di kraton Surakarta yaitu Mas Newu Sudiradraka seorang musisi kraton berpangkat panewu dari golongan punakawan. Kemudian dinaikkan pangkatnya ke panewu golongan kasepuhan dengan nama Kyai Demang Gunasentika. Sebagai tanda terimakasih atas kenaikan pangkatnya, ia mengumumkan notasi ini kepada pemerintah Belanda dan mempersembahkannya kepada patih Sasradiningrat IV (1889-1916). (Sumarsam, 2003: 156). Menurut Warsadiningrat, Gunasentika memakai notasi rante untuk mengajar siswanya dan anak-anak raja.
Nut lain adalah Andha (tangga) yang berupa garis-garis sejajar tegak (vertikal) yang merepresentasikan bilah-bilah saron atau balungan. Notasi Andha dikembangkan di Yogyakarta. Menurut Djoko Walujo (guru gamelan ISI Yogyakarta) notasi andha dipakai untuk mengajar gamelan. Caranya, notasi tersebut ditulis di papan yang lebar berbentuk seperti pintu. Djoko Walujo melihat notasi ini di rumah Purwadiningrat (putra Wiraguna, salah satu pencipta notasi andha). Dugaan Sumarsam kedua notasi awal ini dipakai untuk mengajar gamelan hanya terbatas di kalangan Jawa golongan ningrat, terutama anak-anak para pangeran. (Sumarsam, 2003: 157).
Contoh notasi (nut) rante lihat Sumarsam, 2003: 158. Contoh nut andha, lihat Sumarsam, 2003: 159.

Inti dari permasalahan diupayakannya atau ditemukannya notasi-notasi di Jawa (dan juga di daerah lain di Nusantara) adalah adanya perhatian dari sementara tokoh seni budaya Belanda (sbg penjajah yang berkepentingan melestarikan daerah kekuasan jajahannya) terhadap:
Ø upaya pelestarian (preservasi),
Ø pengembangan (reaktualisasi, revivalisasi), dan,
Ø penghargaan (reward semacam lomba-lomba penulisan notasi) terhadap tingginya nilai estetis (garap, gendhing, vokal, sastra);
Ø organologi (teknik pembuatan gamelan besi-kuningan-perunggu-pamor); dan,
Ø filosofis (piwulang, murya raras, sangkan paraning dumadi, pendidikan, dsb).

Lebih lanjut tentang: Pengetahuan karawitan

Laras Slendro dan Pelog

Pembuatan Gamelan
Gamelan Jawa sebenarnya dapat dibedakan menjadi dua laras (tangga nada / titi nada), yaitu Slendro dan Pelog.
Menurut mitologi Jawa, Gamelan Slendro lebih tua usianya daripada Gamelan Pelog. Slendro memiliki 5 (lima) nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 (C- D E+ G A) dengan interval yang sama atau kalau pun berbeda perbedaan intervalnya sangat kecil. Pelog memiliki 7 (tujuh) nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 (C+ D E- F# G# A B) dengan perbedaan interval yang besar. Dalam memainkan pelog, masih dibagi menjadi dua lagi, yaitu Pelog Barang, dan Pelog Bem. Pelog Barang tidak pernah membunyikan nada 1, sedangkan pelog Bem tidak pernah membunyikan nada 7.
Dalam menciptakan lagu bernuansa pelog maupun slendro, ada aturan-aturannya tersendiri.
Pada gamelan, tidak ada nada re dan la. Tetapi ada beberapa lagu yang dipaksakan menggunakan nada la, dan ini memiliki nilai arti tersendiri pada lagu tersebut.
~ oleh yudhipri pada 15 Juni 2010.

Jenis-Jenis Karawitan

Karawitan

Karawitan adalah seni musik tradisional yang terdapat dibeberapa wilayah Indonesia. Penyebarannya meliputi daerah Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Madura, dan Bali. Karawitan sering diartikan sebagai seni musik tradisional yang dimainkan dengan menggunakan gamelan. Biasanya, seni musik ini dipentaskan dalam pagelaran seni untuk mengiringi tarian, upacara adat, dan nyanyian.
Seperti telah dikatakan bahwa karawitan terbesar di beberapa wilayah Indonesia yang meliputi Pulau Jawa, Bali, Madura, Sumatra, dan Kalimantan. Namun, yang sangat terkenal adalah karawitan yang berasal dari Jawa.
Perlu diketahui bahwa karawitan di setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing sehingga tidak sama dalam memainkannya. Hal yang membedakannya adalah alat yang digunakan, bentuk yang dipakai, bunyi yang dihasilkan, materi yang diberikan serta adat ketika memainkan.

Jenis-Jenis Karawitan

Ditinjau dari cara penyajiannya, karawitan dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu Karawitan Sekar (vokal), Karawitan Gending (instrumen), dan Karawitan Sekar Gending (campuran).
1. Karawitan Vokal (sekar)
Sesuai namanya, penyajian dalam Karawitan Sekar lebih mengutamakan unsur vokal atau suara. Bagus tidaknya penampilan Karawitan Sekar sangat bergantung pada kelihaian sang vokalis ketika melantunkan “sekarnya”.
Apa itu sekar? Sekar adalah pengolahan vokal yang khusus dilakukan untuk menimbulkan rasa seni yang erat berhubungan dengan indra pendengaran. Sekar erat bersentuhan dengan nada, bunyi atau alat-alat pendukung lainnya yang selalu akrab berdampingan.
Sekar berbeda dengan bicara biasa. Lantunan sekar mempunyai citrarasa seni yang sangat dalam. Meskipun demikian, sekar sangat dekat dengan ragam bicara atau dialek, seperti sekar sunda yang dekat dengan dialek Cianjur, Garut, Ciamis, Majalengka, dan sebagainya.
2. Karawitan Gending (Instrumen)
Berbeda dengan Karawitan Sekar, Karawitan Gending lebih mengutamakan unsur instrumen atau alat musik dalam penyajiannya. Macam-macam alat gending dalam karawitan cukup banyak, diantaranya adalah gomg, gendang, kleneng, sinter, gambling, dan sebagainya.
3. Karawitan Sekar Gending (campuran)
Karawitan Sekar Gending merupakan salah satu bentuk kesenian gabungan antara Karawitan Sekar dan Gending. Dalam penyajiannya, karawitan ini tidak hanya menampilkan salah satu di antara keduanya, tetapi juga kedua karawitan ini ditampilkan secara bersama-sama agar menghasilkan karawitan yang bagus.
Adapun yang termasuk dalam penyajian  Karawitan Sekar Gending di antaranya adalah degung kawih, kliningan, celempungan, kecapi kawih, dan gending karesmen.
Karawitan adalah seni suara daerah baik vokal atau instrumental yang mempunyai klarifikasi dan perkembangan dari daerahnya itu sendiri. Karawitan di bagi 3, yaitu :
  • Karawitan Sekar,
  • Karawitan Gending,
  • Karawitan Sekar Gending.

 Karawitan Sekar

Karawitan Sekar merupakan salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya lebih mengutamakan terhadap unsur vokal atau suara manusia.

Karawitan Gending

Karawitan Gending merupakan salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya lebih mengutamakan unsur instrumental atau alat musik.

Karawitan Sekar Gending

Karawitan Sekar Gending adalah salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya terdapat unsur gabungan antara karawitan sekar dan gending
Pengertian dari karawitan itu sendiri secara khusus dapat diartikan sebagai Seni Musik Tradisional yang terdapat di seluruh wilayah etnik Indonesia.
Penyebaran seni karawitan terdapa di Pulau Jawa, Sumatra, Madura dan Bali. Karawitan memainkan alat musik bernama gamelan, sebagai contoh Gamelan Pelog/Salendro, Gamelan Cirebon, Gamelan Degung dan Gamelan Cianjuran (untuk bentuk sajian ensemble/kelompok). Dalam prakteknya, karawitan biasa digunakan untuk mengiringi tarian dan nyanyian, tapi tidak tertutup kemungkinan untuk mengadakan pementasan musik saja.

Bagian Alat Musik Gamelan

Bagian Alat Musik Gamelan

Ingin tahu nama-nama alat musik dalam Gamelan Jawa:

1. Kendhang:
Terbuat dari kulit hewan (Sapi atau kambing)
Kendhang berfungsi utama untuk mengatur irama. Kendhang ini dibunyikan dengan tangan, tanpa alat bantu.Jenis kendang yang kecil disebut ketipung, yang menengah disebut kendang ciblon/kebar. Pasangan ketipung ada satu lagi bernama kendang gedhe biasa disebut kendang kalih.
Kendang kalih dimainkan pada lagu atau gendhing yang berkarakter halus seperti ketawang, gendhing kethuk kalih, dan ladrang irama dadi.
Bisa juga dimainkan cepat pada pembukaan lagu jenis lancaran ,ladrang irama tanggung.  Untuk bermain kendhang, dibutuhkan orang yang sangat mendalami budaya Jawa, dan dimainkan dengan perasaan naluri si pemain, tentu saja dengan aturan-aturan yang ada.
2. Demung, Saron, Peking
Alat ini  berbentuk bilahan dengan enam atau tujuh bilah (satu oktaf ) ditumpangkan pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai resonator.
Instrumen mi ditabuh dengan tabuh dibuat dari kayu.
Menurut ukuran dan fungsinya, terdapat tiga jenis saran:
- demung (Paling besar),
- saron (Sedang) dan,
- peking(Paling kecil).
DEMUNG
Alat ini berukuran besar dan beroktaf tengah.
Demung memainkan balungan gendhing dalam wilayahnya yang terbatas.Umumnya, satu perangkat gamelan mempunyai satu atau dua demung.Tetapi ada gamelan di kraton yang mempunyai lebih dari dua demung.
SARON
Alat ini berukuran sedang dan beroktaf tinggi.
Seperti demung, saron barung memainkan balungan dalam wilayahnya yang terbatas.
Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, dua saron memainkan lagu jalin menjalin yang bertempo cepat. Seperangkat gamelan mempunyai dua saron, tetapi ada gamelan yang mempunyai lebih dan dua saron.
PEKING
Berbentuk saron yang paling kecil dan beroktaf paling tinggi.
Saron panerus atau peking ini memainkan tabuhan rangkap dua atau rangkap empat lagu balungan.
3. Gong dan Kempul
Gong menandai permulaan dan akhiran gendhing dan memberi rasa keseimbangan setelah berlalunya kalimat lagu gendhing yang panjang.
Gong sangat penting untuk menandai berakhirnya satuan kelompok dasar lagu, sehingga kelompok itu sendiri (yaitu kalimat lagu di antara dua tabuhan gong) dinamakan gongan.
Ada dua macam gong:
- gong ageng (besar) dan
- gong suwukan atau gong siyem yang berukuran sedang.
.
Gong gantung berukuran kecil. Kempul menandai aksen-aksen penting dalam kalimat lagu gendhing.
Dalam hubungannya dengan lagu gendhing, kempul bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan; kadang-kadang kempul mendahului nada balungan berikutnya.
.
.
.
.
4. Bonang
Bonang dibagi menjadi dua jenis, yaitu bonang barung dan bonang panerus. Perbedaannya pada besar dan kecilnya saja, dan juga pada cara memainkan iramanya.
Bonang barung berukuran besar, beroktaf tengah sampai tinggi, adalah salah satu dari instrumen-instrumen pemuka dalam ansambel.
Khususnya dalam teknik tabuhan pipilan, pola-pola nada yang selalu mengantisipasi nada-nada yang akan datang dapat menuntun lagu instrumen-instrumen lainnya.
Pada jenis gendhing bonang, bonang barung memainkan pembuka gendhing dan menuntun alur lagu gendhing.
Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, bonang barung tidak berfungsi sebagai lagu penuntun; ia membentuk pola-pola lagu jalin-menjalin dengan bonang panerus, dan pada aksen aksen penting bonang boleh membuat sekaran (lagu-lagu hiasan), biasanya di akhiran kalimat lagu.
Bonang panerus adalah bonang  yang kecil, beroktaf tinggi.
Pada teknik tabuhan pipilan, irama bonang panerus memiliki kecepatan dalam bermain dua kali lipat dari pada bonang barung. Walaupun mengantisipasi nada-nada balungan, bonang panerus tidak berfungsi sebagai lagu tuntunan, karena kecepatan dan ketinggian wilayah nadanya.
Dalam teknik tabuhan imbal-imbalan, bekerja sama dengan bonang barung, bonang panerus memainkan pola-pola lagu jalin menjalin.
5. Slenthem
Menurut konstruksinya, slenthem termasuk keluarga gender; malahan kadang-kadang ia dinamakan gender panembung. Tetapi slenthem mempunyai bilah sebanyak bilah saron;
Slenthem beroktaf paling rendah dalam kelompok instrumen saron. Seperti demung dan saron barung, slenthem memainkan lagu balungan dalam wilayahnya yang terbatas.
6. Kethuk dan Kenong
Kenong merupakan satu set instrumen jenis mirip gong berposisi horisontal, ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu. Dalam memberi batasan struktur suatu gendhing, kenong adalah instrumen kedua yang paling penting setelah gong.
Kenong membagi gongan menjadi dua atau empat kalimat kalimat kenong.
Di samping berfungsi menggaris-bawahi struktur gendhing, nada-nada kenong juga berhubungan dengan lagu gendhing;
ia bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan;
ia boleh juga mendahului nada balungan berikutnya untuk menuntun alun lagu gendhing; atau ia dapat memainkan nada berjarak satu kempyung dengan nada balungan, untuk mendukung rasa pathet.
Pada kenongan bergaya cepat, dalam ayaka yakan, srepegan, dan sampak, tabuhan kenong menuntun alur lagu gendhing-gendhing tersebut.
Kethuk sama dengan kenong, fungsinya juga sama dengan kenong. Kethuk dan kenong selalu bermain jalin-menjalin, perbedaannya pada irama bermainnya saja.
7. Gender
Instrumen terdiri dari bilah-bilah metal ditegangkan dengan tali di atas bumbung-bumbung resonator.
Gender ini dimainkan dengan tabuh berbentuk bulat (dilingkari lapisan kain) dengan tangkai pendek.
Sesuai dengan fungsi lagu, wilayah nada, dan ukurannya, ada dua macam gender:
- gender barung dan
- gender panerus.
8.  Gambang
Instrumen dibuat dari bilah – bilah kayu dibingkai pada gerobogan yang juga berfungsi sebagai resonator.
Berbilah tujuh-belas sampai dua-puluh bilah, wilayah gambang mencakup dua oktaf atau lebih.
Gambang dimainkan dengan tabuh berbentuk bundar dengan tangkai panjang biasanya dari tanduk/sungu.
Kebanyakan gambang memainkan gembyangan (oktaf) dalam gaya pola pola lagu dengan ketukan ajeg.
Gambang juga dapat memainkan beberapa macam ornamentasi lagu dan ritme, seperti permainan dua nada dipisahkan oleh dua bilah, atau permainan dua nada dipisahkan oleh enam bilah, dan pola lagu dengan ritme – ritme sinkopasi.
9. Rebab
Instrumen kawat-gesek dengan dua kawat ditegangkan pada selajur kayu dengan badan berbentuk hati ditutup dengan membran (kulit tipis) dari babad sapi.
Sebagai salah satu dari instrumen pemuka, rebab diakui sebagai pemimpin lagu dalam ansambel, terutama dalam gaya tabuhan lirih.
Pada kebanyakan gendhing-gendhing, rebab memainkan lagu pembuka gendhing, menentukan gendhing, laras, dan pathet yang akan dimainkan.
Wilayah nada rebab mencakup luas wilayah gendhing apa saja. Maka alur lagu rebab memberi petunjuk yang jelas jalan alur lagu gendhing.
Pada kebanyakan gendhing, rebab juga memberi tuntunan musikal kepada ansambel untuk beralih dari seksi yang satu ke yang lain.
10. Siter

~ oleh yudhipri pada 15 Juni 2010.

Rabu, 23 Maret 2011

Calung Banyumasan


Calung Banyumasan

Sekang Wikipédia, Ènsiklopédhi Bébas basa Banyumasan: dhialék Banyumas, Tegal, Cirebon karo Jawa Serang/Banten lor.
Langsung menyang

Prakata

Calung Banyumasan yakuwe seperangkat musik khas Banyumasan sing digawe sekang pring wulung mirip karo gamelan Jawa wetanan. Jenis-jenis perangkat musike: gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong lan kendang. Ritme musik Calung Banyumasan mandan dinamis / cepet, penyanyine biasa disebut Pesinden. Tariane jenenge Jalungmas (Jaipong Calung Banyumasan)
Arti kata Calung ialah: carang pring wulung utawa dicacah melung-melung.
Perangkat musik kiye nganggo laras Slendro sing nada-nadane: 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma), lan 6 (nem).

Pesinden

Sekang Wikipédia, Ènsiklopédhi Bébas basa Banyumasan: dhialék Banyumas, Tegal, Cirebon karo Jawa Serang/Banten lor.
Langsung menyang:
Pesinden (biasa disingkat Sinden) utawa Swarawati ialah penyanyi wadon nang pagelaran kesenian Jawa.

Banyumasan

Sekang Wikipédia, Ènsiklopédhi Bébas basa Banyumasan: dhialék Banyumas, Tegal, Cirebon karo Jawa Serang/Banten lor.
Langsung menyang:
Wilayah Banyumasan
Wilayah Banyumasan

Pambuka

Banyumasan utawa mBanyumasan yakuwe : Manunggale budaya, basa karo watek/karakter sing urip uga berkembang nang masyarakat wilayah Banyumasan.
Wilayah Banyumasan kuwe ana nang sisi kulon provinsi Jawa Tengah, tegesé wilayah nang sekitar gunung Slamet karo kali Serayu, dadi kabupaten-kabupaten sing ngelilingi gunung Slamet karo kali Serayu kuwé termasuk wilayah Banyumasan. Ana 8 kabupaten karo 1 kota sing cokan diarani wilayah Banyumasan yakuwe: kabupaten Brebes, kabupaten Tegal, kota Tegal, kabupaten Pemalang, kabupaten Banjarnegara, kabupaten Kebumen, kabupaten Cilacap, kabupaten Purbalingga karo kabupaten Banyumas.

fungsi karawitan

Fungsi Karawitan

17/01/2011 oleh mbyarts Tinggalkan sebuah Komentar
Karawitan merupakan peninggalan leluhur yang sangat berharga. Selain sebagai bentuk seni yang tinggi, karawitan juga mempunyai fungsi dalam lingkup kemasyarakatan. Karawitan yang ditampilkan di dalam upacara adat dapat berdampak positif kepada para pemain dan penontonnya. Adapun dampak positif yang dapat tumbuh dari pagelaran karawitan, yaitu :
  • Menumbuhkan rasa kekeluargaan,
  • Menanamkan nila-nilai luhur,
  • Menghilangkan sifat brutal,
  • Menambah kreativitas,
  • Memupuk kerja sama, dan
  • Menghibur serta menghilangkan rasa gundah atas kehidupan.
Dilihat dari cara penyajiannya, karawitan mempunyai tiga fungsi, yaitu ungkapan jiwa, apresiasi, dan hiburan.
  1. Ungkapan Jiwa
Fungsi ungkapan jiwa digunakan oleh seniman untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam jiwanya.
  1. Apresiasi
Fungsi apresiasi tumbuh ketika penonton telah selesai melihat pergelaran karawitan. Akan muncul di benak penonton sebuah pengalaman baru setelah melihat pergelaran tersebut.
  1. Hiburan
Karawitan dapat berfungsi sebagai hiburan jika seseorang dapat terhibur dan senang ketika memainkan atau melihat pergelaran karawitan.
Selain tiga fungsi yang telah diuraikan di atas, ada pula fungsi fungsional yang terdapat dalam karawitan, di antaranya sebagai musik pengiring, sosial, dan komersial.
  1. Musik Pengiring
Karawitan berfungsi sebagai musik pengiring bila kedudukannya hanya menjadi salah satu bagian dari seluruh pergelaran. Dengan kata lain, ada fungsi yang lebih penting selain tujuan dari karawitan.
  1. Sosial
Tidak sedikit sajian karawitan yang difungsikan sebagai sarana untuk tujuan sosial, seperti pendidikan, penerangan, kampanye politik, agama, dan lain-lain. Hal ini tak lain untuk mempengaruhi jiwa atau mengubah pikiran yang mendengarkannya.
  1. Komersial
Seiring kemajuan zaman dan kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat, karawitan tidak hanya dimainkan untuk memenuhi kepuasan yang bersifat batiniah atau spiritual semata, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah atau materi. Dengan kata lain, para seniman menggeluti profesi karawitan untuk mendatangkan penghasilan.

Senin, 14 Maret 2011

sejarah karawitan

Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrument sebagai pernyataan musical yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan berasal dari bahasa jawa rawit berarti rumit, berbelit – belit, tetapi rawit juga bararti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Kata jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada nondiatonis ( dalam laras slendro dan pelog ) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memilikia fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.
Seni gamelan jawa mengandung nilai-nilai histories dan filsofis bagi bangsa Indonesia. Dikatakan demikian sebab gamelan jawa merupakan salah satu seni budaya yang siwariskan oleh para pendahulu dan sampai sekarang masih banyak digemari serta ditekuni. Secara Hipotesis, masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh Hindu telah mengenal sepuluh keahlian, diantaranya adalah wayang dan gamelan. Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk kategori pusaka (Timbul Haryono, 2001). Secara filosofis gamelan jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikaian disebabkan filsafat hidup masyarakt Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jwa serta berhubungan dekat dengan perkembangan religi yang dianutnya.
Istilah gamelan telah lama dikenal di Indonesia, sudah disebut pada beberapa kakawin Jawa Kuno. Arti kata gamelan, sampaio sekarang masih dalam dugaan-dugaan. Mungkin juga kata gamelan terjadi dari pergeseran atau perkembangan dari kata gembel. Gembel adalahalat untauk memukul. Karena cara membunyikan instrumen itu dengan dipukul-pukul. Barang yang sering dipukul namanya pukulan, barang yang sering diketok namanya ketokan atau kentongan, barang yang sering digembal namanya gembelan. Kata gembelan ini bergeser atau berkembang menjadi gamelan. Mungkin juga karena cara membuat gamelan itu adalah perunggu yang dipukul-pukul atau dipalu atau digembel, maka benda yang sering dibuat dengan cara digembel namanya gembelan, benda yang sering dikumpul-kumpulkan namanya kempelan dan seterusnya gembelan berkembang menjadi gamelan. Dengan kata lain gamelan adalah suatu benda hasil dari benda itu digembel-gembel atau dipukul-pukul (Trimanto,1984).
Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Kita harus bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan gamelan sudah jelas ada. Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik barat yang serba besar. Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat tempat di hati masyarakat. Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus gendhing-gendhing (Trimanto, 1984).
( Diambil dari buku Seni Karawitan Jawa, Dr. Purwadi, M.Hum dan Drs. Afendy Widayat. 2006 )

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys